SELAMAT DATANG SAUDARA

BLOG INI SAYA MAKSUDKAN UNTUK SIAPA SAJA YANG INGIN MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN

Jumat, 15 April 2011

KESALAHAN KESALAHAN KECIL YANG BER AKIBAT BESAR


Selama ini kurikulum diberlakukan sebagai sekat-sekat dalam proses belajar. Sesungguhnya, kurikulum berarti "lintasan". Lintasan bukan sekat, dan juga bukan sesuatu yang "liar". Lintasan adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran tertentu. Masing-masing sasaran punya lintasan sendiri-sendiri. Jika sejumlah orang dengan karakter dan potensi yang bebeda kita giring pada lintasan yang sama, maka mereka akan terjebak pada sasaran yang sama pula. Akhirnya mereka terkonsentrasi pada titik yang sama, sementara titik tersebut akan mengalami kejenuhan. Hal inilah yang terjadi selama ini. Berapa banyak "orang-orang yang terbuang" akibat salah lintasan dari awal
 
 Dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan,
tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang terbaik ”.
(Engku Sjafe’i, dalam Navis, 1996:94).


Ungkapan di atas menegaskan bahwa tugas dan fungsi utama pendidikan bukan untuk membentuk anak didik menjadi manusia yang memiliki cita-cita dan wawasan seragam,  melainkan membantu mereka untuk mengenali potensinya sedini mungkin sehingga mereka mampu membangun diri menjadi manusia yang berkualitas prima sesuai dengan kodratnya.   Pendidikan bukan untuk “memaksa” mereka untuk menjadi apa yang kita inginkan, tetapi lebih kepada upaya  membangkitkan minat mereka agar berkemauan keras untuk memilih sendiri arah jalan hidupnya.

Apa yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini?  Serta apa yang harus kita perbuat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita awali dengan memahami kembali hakikat manusia diciptakan.

Pada zamannya, (antara  tahun 1920-1950-an), Sjafe’i (Pendiri INS Kayu Tanam, Sumatera Barat) menentang keras pemaksaan terhadap peserta didik.  Hal ini merupakan “warisan” pola pendidikan zaman kolonial. Namun, sampai saat ini, praktik seperti itu tetap hidup dan bahkan makin subur. Ada berbagai macam bentuk pemaksaan dalam praktik pendidikan, antara lain: (1) penyeragaman  orientasi, bahan, sumber, metode, dan pengalaman belajar siswa; (2) mengutamakan kebakuan format dan pengaturan adminstrasi daripada out-come dalam proses pembelajaran; (3) mempoisisikan kebutuhan psikologis siswa sebagai “hadiah” daripada “ruang” dan media  belajar; (4) menggunakan ukuran “normatif” sebagai penentu dalam proses evaluasi belajar.

Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah di manapun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan wawasan manusia, akibat lanjutnya adalah memusnahkan keberagaman manusia itu sendiri. Ini menentang kodrat manusia!.  

Format-format yang baku dan kaku mengakibatkan ruang gerak guru dan siswa menjadi terbatas dan terabaikan. Format yang dimaksud antara lain adalah silabus, perencanaan pembelajaran, penilaian dan pelaporan.  Seharusnya format-format  tersebut  yang justru menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. 

Setiap siswa menginkan suasana belajar yang menyenangkan dan ramah terhadap mereka, namun keramahan itu didapatkan hanya sebagai “hadiah” dari “perilaku baik”  yang mereka tampilkan tanpa dilihat apakah perilaku itu merupakan kamuflase atau yang sebenarnya. Asal berperilaku “baik” diberi hadiah, pertanyaannya adalah seberapa banyak siswa memperoleh perlakuan ini. Anak-anak “nakal” yang butuh belaian, justeru “ditendang”  dan dunia pendidikan mulai tidak bersahabat dengan mereka. Pendidikan diperuntukkan bagi mereka yang sudah “jadi”. Hanya anak “baik” yang akan memperoleh layanan yang bagus. Lainnya, terserah pada nasibnya. 

Keberhasilan seorang anak diukur melalui angka dengan acuan yang seragam, bukan dengan kriteria kinerja yang lebih beragam sifatnya. Jika sorang anak mencapai angka tertinggi di bidang matematika dan sains dia akan dilabeli sebagai “anak pintar”. Kepintaran ini akan menjadi indikator semua bidang. Jika si anak pintar ini mendapat angka rendah di bidang seni, guru akan mengupayakan supaya nilai angka bidang seni “dinaikkan”. Sebaliknya jika seorang anak memperoleh angka rendah di bidang matematika dan sains, mereka akan dilabeli ‘anak yang tidak pintar”. Dalam kondisi ini, anak pintar akan memperoleh layanan yang menyenangkan dan segala-galanya dipermudah, sebaliknya, anak yang kategori “tidak pintar” akan “diasingkan”  dan mereka berjalan seirama dengan nasibnya. Jika nasib baik,  akan baiklah mereka, yang jelas, dunia pendidikan tidak akan bersahabat. Mereka ini akan mendapat layanan seadanya dengan kualitas pendidikan yang seadanya pula.

Praktik pendidikan seperti ini yang menjadikan dunia pendidikan kita menjadi dunia yang ekslusif, diskriminatif, dan layanan yang bermutu hanya akan menjangkau sebagian kecil siswa saja.  Dan yang lebih membahayakan, pengalaman belajar mereka menjadi miskin. Kemiskinan pengalaman belajar akan berdampak pada orientasi pembelajaran dan mengakibatkan mereka lebih dominan berpikir secara linier dan satu arah.

Praktik pendidikan yang demikian  terbukti “membunuh” potensi yang ada dalam diri seseorang. Kalau mau diuji secara statistik, kira-kira berapa persen anak-anak kita yang memiliki ijazah tetapi tidak produktif, tidak kreatif, pesimis, pasif, dan memiliki mental “buruh” . Pada hal ketika terlahir, tidak satupun manusia bersifat pasif. Dalam ajaran agama sudah jelas dikatakan bahwa  potensi itu merupakan amanah dari Tuhan yang diterima manusia sebelum lahir. “Manusia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas dan sesungguhnya aku hendak menjadikan ia sebagai seorang khalifah di bumi” (QS 2:30).  Kitab suci (terutama Al Qur’an) memandang  manusia sebagai makhluk yang tercipta bukan secara kebetulan.  Untuk itu, manusia dibekali dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11). Dan ditundukkan  serta dimudahkan kepadanya (manusia) alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).

Thomas`Armstrong dengan tegas mengatakan bahwa semua manusia terlahir jenius, kesalahan kita selama ini adalah menggunakan IQ sebagai satu-satunya ukuran kejeniusan. Hal ini yang mengakibatkan kita menjadi diskriminatif terhadap peserta didik.  12 ciri kejeniusan menurutnya adalah; rasa ingin tahu, jenaka, imajinasi, kreatif, ketakjuban, bijaksana, penuh daya cipta, vitalitas, peka, fleksibel, lucu dan gembira. 

Kejeniusan anak bisa hilang oleh berbagai faktor seperti peran rumah, sekolah, media. Situasi rumah yang tidak menyenangkan, serba cepat dan serba instan akan mempengaruhi perkembangan kejeniusan seseorang. Di sekolah, kejeniusan anak terancam tidak berkembang antara lain disebabkan oleh cara-cara pengujian dan penilaian yang sangat formal. “Tes-tes formal dan sistem penilaian mempunyai banyak fungsi yang penting dalam pendidikan; namun mengembangkan kejeniusan siswa tidak terjadi karena hal-hal tersebut’ (Armstrong; 2004;73).  Pemberian julukan yang menjadikan siswa terkelompok seperti “kelompok unggulan”, kelompok berbakat dan seterusnya juga berpotensi untuk mengegrogoti perkembangan kejeniusan seseorang. Demikian pula faktor kelelahan dan kejenuhan akibat suasana yang monoton.( di kutip dari tulisan; anas zulfikri;)


1 komentar: